ZOE Production

Nama alamat nomor telephone dan Whatsupp

Wednesday, October 8, 2014

Regulasi Penyiaran Indonesia

REGULASI yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.


Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.

Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI, Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor 005/PUU-I/2003.

Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran terbit.

PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan KPI atas nama Negara.

Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi, bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.

Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku. Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya menanti kepastian proses perizinan.

Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.


Permasalahan lain, ketika dalam PP-PP Penyiaran terjadi pembagian kaveling kewenangan dalam memproses izin bahwa kaveling KPI adalah dalam hal pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan kaveling pemerintah (menteri) dalam hal pemeriksaan kelengkapan administrasi dan data teknik penyiaran. Dalam hal melaksanakan tugasnya di daerah menteri dalam PP-PP penyiaran tersebut dibantu oleh pemerintah di daerah. Permasalahan yang muncul adalah pembagian tugas antara menteri dan pemerintah di daerah belum jelas bagaimana pelaksanaannya mengingat peraturan yang memayunginya belum ada. Jadi, menteri belum dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya. Bahkan, penulis sempat beberapa kali didatangi pejabat dinas infomasi dan komunikasi yang ada di daerah menanyakan kepada penulis apa yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya dalam membantu menteri sebagaimana tersurat dalam PP-PP Penyiaran tersebut. Jawaban yang bisa penulis sampaikan adalah sebelum peraturan yang menjadi dasar pembagian tugas tersebut belum ada, maka akan sulit bagi pemerintah di daerah melaksanakan tugasnya di lapangan. Jadi ketika peraturan penjelas dari PP-PP Penyiaran ini tidak segera diterbitkan pemerintah, kondisi penyiaran di Indonesia khususnya di Jawa Barat akan jauh dari tertib. Jadi, saat ini, bola ada di tangan pemerintah. KPI dan masyarakat tinggal menunggu langkah apa yang akan segera pemerintah lakukan demi menjawab kegelisahan masyarakat tersebut.

No comments:

Post a Comment

Copyright zOe Production. Powered by Blogger.

Contact Us

Name

Email *

Message *

Lighting, editing