REGULASI yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh
sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat
dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah
Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran
Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah
Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan
penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di
bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini
membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan
Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi
pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan
sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.
Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya
masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada
kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana
pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan
berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman
ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan
dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.
Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk
masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul
bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang
dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI,
Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini
melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok
gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang
akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa
pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan
oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari
UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup
dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP).
Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor
005/PUU-I/2003.
Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran
berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik
penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang
diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta
kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan
pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah
menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini
kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP)
tentang Penyiaran terbit.
PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005
tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga
Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan
Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai
pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri
atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran.
Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran
diberikan negara melalui KPI. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan
oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI
pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan
negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan
KPI atas nama Negara.
Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam
pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus
diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan
penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran
Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi,
bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah
pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang
ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil
society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta
pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.
Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan
pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku.
Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini
bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan
penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya
peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP
penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat
para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya
menanti kepastian proses perizinan.
Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon
izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan
layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI
disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan
penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan
penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa
diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur
perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum
ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik
menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.
Permasalahan lain, ketika dalam PP-PP Penyiaran terjadi
pembagian kaveling kewenangan dalam memproses izin bahwa kaveling KPI adalah
dalam hal pemeriksaan kelengkapan persyaratan program siaran dan kaveling
pemerintah (menteri) dalam hal pemeriksaan kelengkapan administrasi dan data
teknik penyiaran. Dalam hal melaksanakan tugasnya di daerah menteri dalam PP-PP
penyiaran tersebut dibantu oleh pemerintah di daerah. Permasalahan yang muncul
adalah pembagian tugas antara menteri dan pemerintah di daerah belum jelas
bagaimana pelaksanaannya mengingat peraturan yang memayunginya belum ada. Jadi,
menteri belum dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya. Bahkan, penulis sempat
beberapa kali didatangi pejabat dinas infomasi dan komunikasi yang ada di
daerah menanyakan kepada penulis apa yang menjadi tugas, pokok, dan fungsinya
dalam membantu menteri sebagaimana tersurat dalam PP-PP Penyiaran tersebut.
Jawaban yang bisa penulis sampaikan adalah sebelum peraturan yang menjadi dasar
pembagian tugas tersebut belum ada, maka akan sulit bagi pemerintah di daerah
melaksanakan tugasnya di lapangan. Jadi ketika peraturan penjelas dari PP-PP
Penyiaran ini tidak segera diterbitkan pemerintah, kondisi penyiaran di
Indonesia khususnya di Jawa Barat akan jauh dari tertib. Jadi, saat ini, bola
ada di tangan pemerintah. KPI dan masyarakat tinggal menunggu langkah apa yang
akan segera pemerintah lakukan demi menjawab kegelisahan masyarakat tersebut.
No comments:
Post a Comment