Tiga tahun pasca berlakunya UU Penyiaran No 32 tahun 2002
belum juga menunjukkan tanda-tanda perubahan signifikan di dunia penyiaran
kita. Perubahan yang dimaksud adalah bergantinya pola penyiaran yang dahulu
berskala nasional menjadi lokal. Untuk penyiaran radio bolehlah kita anggap
menunjukkan perubahan yang lumayan dengan beroperasinya radio-radio jaringan di
sejumlah daerah. Akan halnya dengan stasiun televisi, amanat UU Penyiaran No 32
tahun 2002 bahwa sistem penyiaran nasional menganut pola penyiaran jaringan dan
stasiun lokal nampaknya belum ditaati oleh hampir semua stasiun televisi swasta
berskala nasional.
Sampai hari ini kita masih dapat mengakses siaran televisi
swasta berskala nasional, padahal pada Bab XI Ketentuan Peralihan UU penyiaran
No 32 th 2002 (pasal 60 ayat 2) disebutkan bahwa lembaga penyiaran televisi
wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU Penyiaran paling lama 3 tahun
setelah diterbitkannya undang-undang tersebut. Sejak tahun akhir 2005 mestinya
khalayak penonton hanya dapat menyaksikan siaran dari televisi jaringan maupun
televisi lokal, karena siaran swasta berskala nasional tidak lagi dizinkan oleh
undang-undang. Konsekuensinya, sebuah lembaga penyiaran televisi swasta
seandainya ingin siaran di daerah mestinya membuka stasiun-stasiun baru di
daerah sebagai bagian dari jaringan. Jika cara ini dianggap terlalu mahal,
lembaga penyiaran berskala nasional dapat juga berjaringan dengan stasiun
televisi lokal yang sudah ada di daerah.
Secara normatif, konsekuensi tersebut sebenarnya lebih
sesuai dengan semangat UU Penyiaran No 32 th 2005 untuk mengembangkan penyiaran
di daerah. Negara beritikad mewujudkan sistem penyiaran yang menjamindiversity
of content dan diversity of ownership. Dalam konteks keragaman muatan siaran,
hadirnya stasiun televisi lokal mestinya memberi warna baru dalam dunia
pertelevisian kita dimana muatan siaran nanti akan berkembang sesuai dengan
kondisi daerah. Di era otonomi sekarang ini, keragaman potensi ekonomi dan
kebudayaan sesungguhnya merupakan aset siaran yang dapat dieksplorasi
sedemikian rupa sehingga muatan siaran akan lebih variatif dan lebih bermanfaat
bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Harapannya, khalayak lokal akan lebih
banyak tahu akan informasi-informasi di lingkungan sekitarnya dan karenanya
dapat membuka kesempatan-kesempatan baru di bidang ekonomi. Di sisi lain, ragam
kebudayaan setempat akan menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton stasiun
lokal, sehingga masyarakat tidak perlu lagi merasa terjajah oleh kebudayaan
“pusat” yang hingga kini masih tercitra melalui siaran berskala nasional.
Di sisi lain, semangat UU Penyiaran No 32 th 2002 bersesuaian
dengan hak setiap warga negara untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi.
Pengaturan cakupan siaran dari nasional menjadi lokal, mestinya merangsang
pemodal-pemodal baru di daerah untuk mendirikan stasiun televisi lokal sehingga
kepemilikan media televisi pun idealnya akan makin beragam. Keragaman
kepemilikan alias diversity of ownership lambat laun menjadi antitesis dari
monopoli kepemilikan lembaga penyiaran televisi yang hingga kini masih
didominasi oleh pengusaha-pengusaha ”pusat”. Dengan demikian diharapkan
tercipta iklim penyiaran yang sehat karena terbebas dari monopolikepemilikan.
Bagaimanapun, persoalan kepemilikan media yang terpusat
memiliki risiko tersendiri bagi perkembangan demokrasi, kebebasan pendapat, dan
tumbuhnya iklim industri media yang sehat. Dalam banyak analisis,
terkonsentrasinya kepemilikan media penyiaran di tangan satu atau sekelompok
orang pengusaha menjadikan media penyiaran sebagai alat untuk kepentingan
pengumpulan laba sebesar-besarnya. Hal ini bukan saja tidak sehat bagi perkembangan
industri media karena persaingan yang tidak wajar. Belum lagi konsentrasi
kepemilikan tersebut dikaitkan ke ranah politik: monopoli kepemilikan media
memberi dampak yang lebih buruk karena lazimnya pemilik media akan menggalang
opini publik secara massif kepentingan politiknya.
Dengan berkaca pada UU Penyiaran No. 32 Th 2002 itu, kita
dapat menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya sekarang ini telah terjadi
pelanggaran undang-undang selama lebih dari satu setengah tahun. Fenomena
semacam ini tentu saja menggelisahkan, dan sepatutnya kita senantiasa
mempertanyakan: mengapa terjadi pelaggaran praktik penyiaran televisi?
Nampaknya juga bukan kebetulan jika pelanggaran tersebut justru berlangsung
secara seragam. Setidaknya kita dapat menilik persoalan ini dari dua faktor:
Pertama, televisi swasta yang masih berskala nasional itu
tentu tidak ingin kehilangan pendapatan dari iklan yang masuk. Lebih dari 200
juta orang penduduk merupakan pangsa iklan yang besar, dan jika televisi swasta
nasional dipaksa untuk tunduk pada undang-undang, berarti mereka akan
kehilangan omset iklan yang luar biasa banyak. Kondisi ini tentu tidak
diharapkan sama sekali oleh pengusaha televisi swasta. Membuka stasiun jaringan
baru pun tentu bukan pilihan menarik bagi para pengusaha nasional. Dapat
dibayangkan berapa rupiah yang harus ditanam untuk mendirikan stasiun televisi
jaringan. Atas dasar kepentingan pasar yang sangat luas, mengubah jangkauan
siaran dari nasional ke lokal maupun membuka stasiun jaringan adalah pilihan
yang tidak menguntungkan sama sekali alias bunuh diri.
Kedua, perubahan pola siaran juga tidak menguntungkan para
pengusaha televisi swasta nasional secara politik. Apalagi rata-rata pemilik
televisi swasta nasional lazimnya berkolaborasi dengan kelompok politik
tertentu untuk menggolkan kepentingan politiknya melalui penggalangan informasi
dan opini publik. Untuk yang terakhir ini kita masih dapat menyaksikan belum
sembuhnya penyakit orde terdahulu dimana states apparatus sering berkolaborasi
para pengusaha dalam rangka menarik dukungan politik massa. Dalam hubungan
kolaboratif ini terdapat simbiosis mutualisme antara aparat negara atau aparat
parpol yang mempunyai kepentingan plus kekuasaan politik serta kepentingan
pengusaha untuk tetap melanggengkan usahanya. Maka wajar jika sampai sekarang
tidak juga muncul tanda-tanda bahwa undang-undang tersebut akan dilaksanakan
secara serius.
Pelanggaran terhadap UU penyiaran menampakkan ironinya
kembali karena pemerintah sendiri telah menerbitkan PP Penyiaran No. 50 tahun
2005 yang mengatur penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta. Meski
belum dapat dikatakan sempurna, PP ini mestinya dapat menjadi acuan
penyelenggaraan stasiun televisi lokal dan jaringan. Seharusnya pemerintah
dapat bertindak tegas untuk menuntaskan pelanggaran penyiaran ini. Jika tidak,
hal ini dapat menyebabkan runtuhnya cita-cita demokrasi dan pemberdayaan
masyarakat sebagaimana diinginkan oleh UU Penyiaran No 32 tahun 2002. Lebih
dari itu, lambatnya penanganan televisi penyiaran akan memperkukuh spekulasi
bahwa states apparatus berkepentingan untuk tetap mempertahankan keberadaan
siaran swasta berskala nasional demi pencapaian target-target politik –minimal–
pada pemilu mendatang.
Bayangkan saja jika potensi siaran politik yang luas itu
harus dipangkas menjadi siaran lokal, biaya yang harus dikeluarkan untuk
kampanye sosialisasi program maupun tokoh tentu akan sangat besar.
Walhasil, kesadaran bahwa akan terjadinya pelanggaran
tentunya harus senantiasa ditumbuhkan di kalangan masyarakat. Semua pihak;
lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan media cetak atau media penyiaran
lokal semestinya terus bergerak untuk menggugat kesalahan praktik penyiaran
ini. Di sisi lain, itikad baik pemerintah dan lembaga ekstraeksekutif (KPI)
senantiasa diharapkan karena penyiaran mempunyai dampak yang luar biasa pada
masyarakat sehingga penanganan pelanggaran penyiaran seharusnya menjadi
prioritas.
No comments:
Post a Comment