ZOE Production

Nama alamat nomor telephone dan Whatsupp

Wednesday, October 8, 2014

Perjalanan Televisi Nasional

Tiga tahun pasca berlakunya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 belum juga menunjukkan tanda-tanda perubahan signifikan di dunia penyiaran kita. Perubahan yang dimaksud adalah bergantinya pola penyiaran yang dahulu berskala nasional menjadi lokal. Untuk penyiaran radio bolehlah kita anggap menunjukkan perubahan yang lumayan dengan beroperasinya radio-radio jaringan di sejumlah daerah. Akan halnya dengan stasiun televisi, amanat UU Penyiaran No 32 tahun 2002 bahwa sistem penyiaran nasional menganut pola penyiaran jaringan dan stasiun lokal nampaknya belum ditaati oleh hampir semua stasiun televisi swasta berskala nasional.


Sampai hari ini kita masih dapat mengakses siaran televisi swasta berskala nasional, padahal pada Bab XI Ketentuan Peralihan UU penyiaran No 32 th 2002 (pasal 60 ayat 2) disebutkan bahwa lembaga penyiaran televisi wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU Penyiaran paling lama 3 tahun setelah diterbitkannya undang-undang tersebut. Sejak tahun akhir 2005 mestinya khalayak penonton hanya dapat menyaksikan siaran dari televisi jaringan maupun televisi lokal, karena siaran swasta berskala nasional tidak lagi dizinkan oleh undang-undang. Konsekuensinya, sebuah lembaga penyiaran televisi swasta seandainya ingin siaran di daerah mestinya membuka stasiun-stasiun baru di daerah sebagai bagian dari jaringan. Jika cara ini dianggap terlalu mahal, lembaga penyiaran berskala nasional dapat juga berjaringan dengan stasiun televisi lokal yang sudah ada di daerah.

Secara normatif, konsekuensi tersebut sebenarnya lebih sesuai dengan semangat UU Penyiaran No 32 th 2005 untuk mengembangkan penyiaran di daerah. Negara beritikad mewujudkan sistem penyiaran yang menjamindiversity of content dan diversity of ownership. Dalam konteks keragaman muatan siaran, hadirnya stasiun televisi lokal mestinya memberi warna baru dalam dunia pertelevisian kita dimana muatan siaran nanti akan berkembang sesuai dengan kondisi daerah. Di era otonomi sekarang ini, keragaman potensi ekonomi dan kebudayaan sesungguhnya merupakan aset siaran yang dapat dieksplorasi sedemikian rupa sehingga muatan siaran akan lebih variatif dan lebih bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Harapannya, khalayak lokal akan lebih banyak tahu akan informasi-informasi di lingkungan sekitarnya dan karenanya dapat membuka kesempatan-kesempatan baru di bidang ekonomi. Di sisi lain, ragam kebudayaan setempat akan menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton stasiun lokal, sehingga masyarakat tidak perlu lagi merasa terjajah oleh kebudayaan “pusat” yang hingga kini masih tercitra melalui siaran berskala nasional.

Di sisi lain, semangat UU Penyiaran No 32 th 2002 bersesuaian dengan hak setiap warga negara untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi. Pengaturan cakupan siaran dari nasional menjadi lokal, mestinya merangsang pemodal-pemodal baru di daerah untuk mendirikan stasiun televisi lokal sehingga kepemilikan media televisi pun idealnya akan makin beragam. Keragaman kepemilikan alias diversity of ownership lambat laun menjadi antitesis dari monopoli kepemilikan lembaga penyiaran televisi yang hingga kini masih didominasi oleh pengusaha-pengusaha ”pusat”. Dengan demikian diharapkan tercipta iklim penyiaran yang sehat karena terbebas dari monopolikepemilikan.
Bagaimanapun, persoalan kepemilikan media yang terpusat memiliki risiko tersendiri bagi perkembangan demokrasi, kebebasan pendapat, dan tumbuhnya iklim industri media yang sehat. Dalam banyak analisis, terkonsentrasinya kepemilikan media penyiaran di tangan satu atau sekelompok orang pengusaha menjadikan media penyiaran sebagai alat untuk kepentingan pengumpulan laba sebesar-besarnya. Hal ini bukan saja tidak sehat bagi perkembangan industri media karena persaingan yang tidak wajar. Belum lagi konsentrasi kepemilikan tersebut dikaitkan ke ranah politik: monopoli kepemilikan media memberi dampak yang lebih buruk karena lazimnya pemilik media akan menggalang opini publik secara massif kepentingan politiknya.
Dengan berkaca pada UU Penyiaran No. 32 Th 2002 itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya sekarang ini telah terjadi pelanggaran undang-undang selama lebih dari satu setengah tahun. Fenomena semacam ini tentu saja menggelisahkan, dan sepatutnya kita senantiasa mempertanyakan: mengapa terjadi pelaggaran praktik penyiaran televisi? Nampaknya juga bukan kebetulan jika pelanggaran tersebut justru berlangsung secara seragam. Setidaknya kita dapat menilik persoalan ini dari dua faktor:

Pertama, televisi swasta yang masih berskala nasional itu tentu tidak ingin kehilangan pendapatan dari iklan yang masuk. Lebih dari 200 juta orang penduduk merupakan pangsa iklan yang besar, dan jika televisi swasta nasional dipaksa untuk tunduk pada undang-undang, berarti mereka akan kehilangan omset iklan yang luar biasa banyak. Kondisi ini tentu tidak diharapkan sama sekali oleh pengusaha televisi swasta. Membuka stasiun jaringan baru pun tentu bukan pilihan menarik bagi para pengusaha nasional. Dapat dibayangkan berapa rupiah yang harus ditanam untuk mendirikan stasiun televisi jaringan. Atas dasar kepentingan pasar yang sangat luas, mengubah jangkauan siaran dari nasional ke lokal maupun membuka stasiun jaringan adalah pilihan yang tidak menguntungkan sama sekali alias bunuh diri.

Kedua, perubahan pola siaran juga tidak menguntungkan para pengusaha televisi swasta nasional secara politik. Apalagi rata-rata pemilik televisi swasta nasional lazimnya berkolaborasi dengan kelompok politik tertentu untuk menggolkan kepentingan politiknya melalui penggalangan informasi dan opini publik. Untuk yang terakhir ini kita masih dapat menyaksikan belum sembuhnya penyakit orde terdahulu dimana states apparatus sering berkolaborasi para pengusaha dalam rangka menarik dukungan politik massa. Dalam hubungan kolaboratif ini terdapat simbiosis mutualisme antara aparat negara atau aparat parpol yang mempunyai kepentingan plus kekuasaan politik serta kepentingan pengusaha untuk tetap melanggengkan usahanya. Maka wajar jika sampai sekarang tidak juga muncul tanda-tanda bahwa undang-undang tersebut akan dilaksanakan secara serius.

Pelanggaran terhadap UU penyiaran menampakkan ironinya kembali karena pemerintah sendiri telah menerbitkan PP Penyiaran No. 50 tahun 2005 yang mengatur penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta. Meski belum dapat dikatakan sempurna, PP ini mestinya dapat menjadi acuan penyelenggaraan stasiun televisi lokal dan jaringan. Seharusnya pemerintah dapat bertindak tegas untuk menuntaskan pelanggaran penyiaran ini. Jika tidak, hal ini dapat menyebabkan runtuhnya cita-cita demokrasi dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh UU Penyiaran No 32 tahun 2002. Lebih dari itu, lambatnya penanganan televisi penyiaran akan memperkukuh spekulasi bahwa states apparatus berkepentingan untuk tetap mempertahankan keberadaan siaran swasta berskala nasional demi pencapaian target-target politik –minimal– pada pemilu mendatang. 

Bayangkan saja jika potensi siaran politik yang luas itu harus dipangkas menjadi siaran lokal, biaya yang harus dikeluarkan untuk kampanye sosialisasi program maupun tokoh tentu akan sangat besar.

Walhasil, kesadaran bahwa akan terjadinya pelanggaran tentunya harus senantiasa ditumbuhkan di kalangan masyarakat. Semua pihak; lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan media cetak atau media penyiaran lokal semestinya terus bergerak untuk menggugat kesalahan praktik penyiaran ini. Di sisi lain, itikad baik pemerintah dan lembaga ekstraeksekutif (KPI) senantiasa diharapkan karena penyiaran mempunyai dampak yang luar biasa pada masyarakat sehingga penanganan pelanggaran penyiaran seharusnya menjadi prioritas.

No comments:

Post a Comment

Copyright zOe Production. Powered by Blogger.

Contact Us

Name

Email *

Message *

Lighting, editing